Sabtu, 18 Desember 2010

SMP Terbuka Menjangkau anak yang tak terjangkau pendidikan


Belajar merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang. Oleh karena itu kesempatan  belajar seharusnya dapat dimiliki oleh siapapun, di manapun dan kapanpun. Konsep pendidikan sepanjang hayat (life-long education) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang dicetuskan oleh UNESCO merupakan suatu gagasan yang harus dapat diwujudkan di Indonesia.  Namun upaya ke arah itu ternyata masih banyak menemui kendala.  Hingga saat ini problem pemerataan kesempatan belajar masih menjadi masalah besar dalam dunia pendidikan  di Indonesia.    
 Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, misalnya melalui pembangunan gedung sekolah baru,  peningkatan daya tampung pada sekolah-sekolah yang telah ada,  penambahan fasilitas belajar, pengadaan dan pengangkatan tenaga guru, pemberian beasiswa, dan lain-lain.   Namun  upaya itu ternyata belum dapat mengatasi masalah pemerataan pendidikan secara tuntas. Masih banyak warga masyarakat yang belum dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, terutama sebagian masyarakat yang memiliki berbagai macam kendala tertentu.  Pembangunan gedung sekolah  baru yang dilakukan setiap tahun misalnya, belum dapat menjangkau kelompok masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah-daerah terpencil.  Bagi masyarakat yang memiliki kendala  ekonomi, waktu dan geografis masih  sulit untuk memperoleh layanan pendidikan  melalui jalur pendidikan  reguler/ konvensional.  Padahal sebagai sesama anak bangsa, mereka memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain yang lebih beruntung memperoleh pendidikan, sebagaimana dijamin oleh pasal 31 Undang-undang Dasar 1945. Dalam wilayah negara Indonesia yang luas dengan karakteristik geografis dan demografis yang begitu beragam, sangat sulit memberikan layanan pendidikan yang dapat menjangkau seluruh masyarakat terutama   anak-anak yang memiliki berbagai kendala ekonomi, geografis dan waktu.    Bahkan sekalipun di lokasi-lokasi seperti itu dibangun sekolah reguler, belum tentu kelompok anak  yang memiliki kendala tersebut sempat mengikuti pendidikan karena kesibukannya bekerja membantu orang tua mencari nafkah.  Bagi kelompok anak seperti ini, pergi ke sekolah setiap hari dengan segala konsekwensinya ,  merupakan kegiatan yang dianggap terlalu mahal. Anak-anak tersebut berada di luar jangkauan pendidikan konvensional.  Oleh karena itu, perlu  adanya alternatif program pendidikan non-konvensional untuk dapat menjangkau mereka. Sistem pendidikan terbuka dan sistem pendidikan jarak jauh  dapat dijadikan alternatif untuk memberikan layanan pendidikan bagi kelompok anak yang memiliki kendala semacam itu. Untuk pendidikan tingkat SLTP, salah satu bentuk pendidikan terbuka  yang telah dilaksanakan saat ini adalah Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP Terbuka).  Saat ini SMP Terbuka telah menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan  jarak jauh (termasuk juga SMP Terbuka), menurut Suparman dan Zuhairi,  telah ditempatkan sebagai sistem pendidikan yang bersifat komplementer terhadap sistem pendidikan biasa. Ini berarti   tanpa kehadirannya,  dunia pendidikan menjadi tidak lengkap, karena akan terdapat sejumlah orang yang dengan cara apapun tidak dapat mengikuti pendidikan.[1]    Bahkan, lebih tegas Miarso memandang bahwa SMP Terbuka bukan sekedar merupakan pendidikan komplementer atau suplementer, melainkan sebagai pendidikan kompensatorik yang  bisa menjadi pengganti yang statusnya paralel  terhadap lembaga pendidikan yang telah ada.[2]  Jadi, adalah sangat beralasan jika akhirnya pemerintah Indonesia menetapkan SMP Terbuka sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi masalah perluasan kesempatan belajar.       Pada aspek yang lain, dipilihnya SMP Terbuka untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan karena adanya beberapa pertimbangan.  Sebagaimana dikemukakan oleh Sadiman, Seligman dan Raharjo, SMP Terbuka ini dipilih   karena sistem ini  segera dapat dilaksanakan tanpa resiko merosotnya mutu pendidikan. SMP Terbuka memerlukan biaya yang relatif lebih murah dibanding sistem konvensional karena pelaksanaannya dapat memanfaatkan sumber-sumber yang telah ada.[3]SMP Terbuka telah dirintis  sejak tahun 1979 pada lima lokasi sekolah rintisan.  Dalam perkembangnnya, ketika dicanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada tahun 1994, SMP Terbuka dijadikan salah satu program andalan untuk mensukseskan program ini. SMP Terbuka diharapkan dapat menjangkau anak-anak usia SMP  yang tidak dapat mengikuti pendidikan di SMP biasa.       Penyelenggaraan SMP Terbuka merupakan   salah satu bentuk aplikasi konsep teknologi pendidikan untuk mengatasi masalah perluasan kesempatan belajar. Melalui SMP Terbuka diupayakan agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pebelajar.     Sistem SMP Terbuka berupaya untuk menjangkau anak-anak yang berkendala agar bisa belajar, dengan cara membentuk beberapa Tempat Kegiatan Belajar (TKB) yang berlokasi di sekitar tempat tinggal siswa.  Jadi,  bukan siswa yang dituntut harus datang ke sekolah setiap hari,  melainkan  “membawa”  sekolah atau sumber belajar ke lingkungan siswa.   Sebagaimana sistem pendidikan terbuka pada umumnya, kegiatan belajar di SMP Terbuka  menerapkan prinsip-prinsip  belajar mandiri.  Sistem pembelajaran   SMP Terbuka didesain sedemikian rupa sehingga  siswa dapat belajar  secara mandiri dengan bantuan terbatas dari orang lain.  Sebagian besar kegiatan belajar di SMP Terbuka dilakukan siswa secara mandiri.   Dalam kegiatan belajar, siswa  tidak selalu tergantung kepada guru, karena memang tidak setiap hari  mereka dapat bertatap muka dengan guru seperti halnya pada sekolah konvensional. Siswa SMP Terbuka dapat belajar pada waktu dan tempat yang diatur sesuai kondisi  siswa. Dengan cara demikian, maka anak-anak yang bermasalah tersebut akan terbuka kesempatannya untuk bersekolah.   Sistem pembelajaran mandiri sebagaimana diterapkan di SMP Terbuka  masih dirasakan sebagai sesuatu yang baru bagi sebagian besar anak seusia SMP.  Selama di Sekolah Dasar, siswa telah terbiasa belajar dengan cara konvensional (tatap muka) yang sangat tergantung pada  guru kelas. Kemudian,  ketika  belajar di SMP Terbuka,   mereka dituntut untuk dapat belajar secara mandiri.  Dalam hal demikian, maka kemandirian belajar siswa menjadi  faktor yang amat menentukan  bagi keberhasilan belajar di SMP Terbuka. Oleh karena itu kemandirian belajar siswa perlu mendapat perhatian serius agar setiap  siswa SMP Terbuka  berhasil dalam mengikuti kegiatan belajar di SMP Terbuka.  Untuk mengembangkan kemandirian belajar pada siswa SMP Terbuka,   perlu  dikaji karakteristik atau kondisi riil yang ada pada diri siswa.  Siswa SMP Terbuka mempunyai karakteristik  umum yang relatif berbeda dengan siswa sekolah biasa.   Sebagian besar siswa SMP Terbuka berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah, dari daerah pedesaan dan dari wilayah yang lebih terpencar. Kondisi mereka kurang menguntungkan dibanding dengan latar belakang siswa sekolah reguler.[4]    Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena sesuai misinya, SMP Terbuka memang untuk melayani  anak-anak  tamatan Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah  yang kurang beruntung karena keadaan sosial ekonomi, keterbatasan fasilitas transportasi, kondisi geografis, atau kendala waktu, sehingga tidak memungkinkan mereka mengikuti pelajaran sebagai siswa SMP reguler.[5]  Kondisi siswa SMP Terbuka semacam itu tentu saja akan berdampak pada  kondisi psikologis anak, termasuk dalam hal pembentukan   konsep dirinya.  Kondisi konsep diri siswa SMP Terbuka dengan latar belakang sosial seperti itu sangat menarik untuk dikaji secara mendalam.  Mungkin saja kondisi siswa yang kurang menguntungkan itu berdampak negatif terhadap   konsep diri mereka, atau barangkali justru sebaliknya. Kemudian, perlu pula dikaji lebih jauh, apakah mungkin kondisi konsep diri tersebut berhubungan dengan tingkat kemandirian belajar mereka. Sementara itu, kehadiran lembaga pendidikan terbuka dalam sistem pendidikan kita masih belum dikenal secara luas, terutama bagi kalangan masyarakat awam.  Pandangan  masyarakat terhadap keberadaan SMP Terbuka tentu saja beragam, ada yang positip ada pula yang sebaliknya.  Bahkan masih  banyak pula warga  masyarakat   mempunyai pandangan keliru terhadap sistem pendidikan terbuka semacam ini. Hasil penelitian Supriadi menggambarkan  adanya   kesan yang cukup kuat di masyarakat bahwa status dan prestise siswa SMP Terbuka  dinilai lebih rendah daripada siswa SMP reguler.[6] Hal ini mungkin saja terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sistem pendidikan terbuka.Beragamnya sikap terhadap SMP Terbuka bahkan mungkin juga  terjadi pada siswa-siswa  SMP Terbuka itu sendiri. Sejauh ini, masih sulit menemukan informasi aktual yang dapat menjelaskan  bagaimana sebenarnya sikap siswa SMP Terbuka terhadap sistem pendidikan terbuka yang mereka ikuti.  Apakah mereka belajar di SMP Terbuka hanya karena terpaksa, daripada tidak sekolah, atau memang mereka memiliki pandangan dan   penilaian tertentu terhadap SMP Terbuka.  Seiring dengan perkembangan SMP Terbuka yang saat ini telah tersebar di seluruh Indonesia, makin banyak pula fenomena  yang bisa diamati terhadap penyelenggaraan SMP Terbuka.   Oleh karena itu,   mengkaji sikap para siswa terhadap SMP Terbuka  adalah menjadi penting dan menarik.Berhubung SMP Terbuka menerapkan sistem pembelajaran mandiri, maka upaya meningkatkan kemandirian belajar  siswa merupakan sesuatu yang amat penting. Sebab tanpa adanya kemandirian belajar  yang memadai, proses  pembelajaran di SMP Terbuka tidak akan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan.  Bahkan,  menurut Lewis dan Spencer, salah satu ciri yang paling pokok dalam sistem pendidikan terbuka adalah adanya komitmen untuk membantu siswa agar memiliki kemandirian belajar.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda